CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »
Thanks for visit. Don't forget to come back :)
Don't walk behind me: I may not lead. Don't walk in front of me: I may not follow. Just walk beside me and be my friend.

Wednesday, January 20, 2016

SIKAP DAN KEPUASAN KERJA

Nama Anggota:
Abella Chyntia
Annisa Herliana
Jeshi Audina K

Kelas : 3PA16

SIKAP KERJA DAN KEPUASAN KERJA
A.        SIKAP KERJA
            Sikap kerja menurut Robbins, 2007, sikap adalah pernyataan-pernyataan evaluatif, baik yang diinginkan ataupun yang tidak diinginkan, mengenai objek, orang, atau peristiwa. Tiga komponen sikap, antara lain kognitif, afektif, dan perilaku. Ada juga tipe-tipe sikap yang dibahas pada perilaku organisasi, antara lain adalah kepuasan kerja, keterlibatan dan komitmen pada organisasi.
Determinan Sikap Kerja
            Sikap kerja dapat dijadikan indikator apakah suatu pekerjaan berjalan lancar atau tidak. Jika sikap kerja dilaksanakan dengan baik, pekerjaan akan berjalan lancar. Jika         tidak berarti akan mengalami kesulitan. Tetapi, bukan berarti adanya kesulitan karena tidak dipatuhinya sikap kerja, melainkan ada masalah lain lagi dalam hubungan antara karyawan yang akibatnya sikap kerjanya diabaikan.
            Sikap kerja mempunyai sisi mental yang mempengaruhi individu dalam memberikan          reaksi terhadap stimulus mengenai dirinya diperoleh dari pengalaman dapat merespon         stimulus tidaklah sama. Ada yang merespon secara positif dan ada yang merespon secara negative. Karyawan yang memiliki loyalitas tinggi akan memiliki sikap kerja yang positif. Sikap kerja yang positif meliputi :
a.       kemauan untuk bekerja sama. Bekerja sama dengan orang-orang dalam suatu kelompok akan memungkinkan perusahaan dapat mencapai tujuan yang tidak mungkin dicapai oleh orang-orang secara individual.
b.       rasa memiliki. Adanya rasa ikut memiliki karyawan terhadap perusahaan akan membuat karyawan memiliki sikap untuk ikut menjaga dan bertanggung jawab terhadap perusahaan sehingga pada akhirnya akan menimbulkan loyalitas demi tercpainya tjuan perusahaan.
c.       hubungan antar pribadi. Karyawan yang mempunyai loyalitas karyawan tinggi mereka akan mempunyai sikap fleksibel kea rah tete hubungan antara pribadi. Hubungan antara pribadi ini meliputi : hubungan social diantara karyawan. Hubungan yang harmonis antara atasan dan karyawan, situasi kerja dan sugesti dari teman sekerja.
d.      suka terhadap pekerjaan. Perusahaan harus dapat menghadapi kenyataan bahwa karyawannya tiap hari dating untu bekerja sama sebagai manusia seutuhnya dalam hal melakukan pekerjaan yang akan dilakukan dengan senang hati sebagai indikatornya bisa dilihat dari : kesanggupan karyawan dalam bekerja, karyawan tidak kpernah menuntut apa yang diterimanya di luar gaji pokok.
Faktor- faktor Sikap Kerja
            Menurut Blum and Naylor (Aniek, 2005) terdapat beberapa factor yang      mempengaruhi sikap kerja, diantaranya:
a.      Kondisi Kerja → Situasi kerja yang meliputi lingkungan fisik ataupun lingkungan social yang menjamin akan mempengaruhi kenyamanan dalam bekerja. Karena dengan adanya rasa nyaman akan mempengaruhi semangat dan kualitas karyawan.
b.      Pengawasan Atasan → Seorang pimpinan yang melakukan pengawasan terhadap karyawan dengan baik dan penuh perhatian pada umumnya berpengaruh terhadap sikap dan semangat kerja karyawan.
c.      Kerja sama dari teman sekerja → Adanya teman sekerja yang dapat berkerjasama akan sangat mendukung kualitas dan prestasi dalam menyelesaikan pekerjaan.
d.     Keamanan → Adanya rasa aman yang tercipta serta lingkungan yang terjaga akan menjamin dan menambah ketenangan dalam pekerjaan.
e.      Kesempatan untuk maju → Adanya jaminan masa depan yang lebih baik dalam hal karier baik promosi jabatan dan jaminan hari tua.
f.       Fasilitas kerja → Tersedianya fasilitas-fasilitas yang dapat digunakan karyawan dalam pekerjaannya.
g.      Upah atau Gaji → Rasa senang terhadap imbalan yang diberikan perusahaan baik yang berupa gaji pokok, tunjangan dan sebagainya yang dapat mempengaruhi sikap karyawan dalam menyelesaikan pekerjaannya.

Pengukuran Sikap Kerja
            Seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, Kepuasan kerja merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk mendapatkan hasil kerja yang optimal. Ketika seorang merasakan kepuasan dalam bekerja tentunya ia akan berupaya semaksimal mungkin           dengan segenap kemampuan yang dimilikinya untuk menyelesaikan tugas pekerjaannya. Dengan demikian produktivitas dan hasil kerja karyawan akan meningkat secara optimal.
            Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja karyawan pada dasarnya secara praktis dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik adalah faktor yang berasal dari dalam diri dan dibawa oleh setiap karyawan sejak mulai bekerja di tempat pekerjaannya, Sebagai contoh, karyawan yang sudah lama bekerja memiliki kecenderungan lebih puas dibandingkan dengan karyawan yang belum lama bekerja (Doering et al., 1983) Faktor eksentrinsik menyangkut hal-hal yang berasal dari luar diri karyawan, antara lain kondisi fisik lingkungan kerja, interaksinya dengan karyawan lain, sistem penggajian dan sebagainya.
            Secara teoritis, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja sangat banyak        jumlahnya, seperti gayakepemimpinan, produktivitas kerja, perilaku, locus of control, pemenuhan harapan penggajian dan efektivitas kerja.
            Salah satu cara untuk menentukan apakah pekerja puas dengan pekerjaannya atau tidak, ialah dengan membandingkan pekerjaan mereka dengan beberapa pekerjaan ideal tertentu (teori kesenjangan).
            Faktor-faktor yang biasanya digunakan untuk mengukur kepuasan kerja seorang pegawai diantaranya :
a.    Isi pekerjaan, penampilan tugas pekerjaan yang aktual dan sebagai kontrol terhadap pekerjaan
b.    Supervise
c.    Organisasi dan manajemen
d.   Kesempatan untuk maju
e.    Gaji dan keuntungan dalam bidang finansial lainnya seperti adanya insentif
f.     Rekan kerja
g.    Kondisi pekerjaan
            Menurut Job Descriptive Index (JDI) faktor penyebab kepuasan kerja,        pengukuran sikap atau kepuasan kerja, diantaranya :
a.    Bekerja pada tempat yang tepat
b.    Pembayaran yang sesuai
c.    Organisasi dan manajemen
d.   Supervisi pada pekerjaan yang tepat
e.    Orang yang berada dalam pekerjaan yang tepat

B.        KEPUASAN KERJA
            Kepuasan kerja menurut Susilo Martoyo (1992), pada dasarnya merupakan             salah satu aspek psikologis yang mencerminkan perasaan seseorang terhadap      pekerjaannya,ia akan merasa puas dengan adanya kesesuaian antara kemampuan, keterampilan dan harapannya dengan pekerjaan yang ia hadapi.          Kepuasan sebenarnya merupakan keadaan yang sifatnya subyektif yang     merupakan hasil kesimpulan yang didasarkan pada suatu perbandingan mengenai apa yang diterima pegawai dari pekerjaannya dibandingkan dengan        yang diharapkan, diinginkan, dan dipikirkannya sebagai hal yang pantas atau berhak atasnya. Sementara setiap karyawan/ pegawai secara subyektif          menentukan bagaimana pekerjaan itu memuaskan.
            Pengertian Kepuasan Kerja menurut Tiffin (1958) dalam Moch. As’ad
       (1995) kepuasan kerja berhubungan erat dengan sikap dari karyawan             terhadap pekerjaannya sendiri, situasi kerja, kerjasama antara pimpinan         dengan karyawan. Sedangkan menurut Blum (1956) dalam Moch. As’ad
       (1995) mengemukakan bahwa kepuasan kerja merupakan sikap umum yang merupakan hasil dari beberapa sikap khusus terhadap faktor – faktor            pekerjaan, penyesuaian diri dan hubungan sosial individu diluar kerja.

            Dari batasan - batasan mengenai kepuasan kerja tersebut, dapat     disimpulkan secara sederhana bahwa kepuasan kerja adalah perasaan        seseorang terhadap pekerjaannya. Ini berarti bahwa konsepsi kepuasan kerja    melihatnya sebagai hasil interaksi manusia terhadap lingkungan kerjanya. Di           samping itu, perasaan seseorang terhadap pekerjaan tentulah sekaligus        merupakan refleksi dari sikapnya terhadap pekerjaan. Pada        dasarnya kepuasan kerjamerupakan hal yang bersifat individual. Setiap         individu akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda – beda sesuai dengan            sistem nilai – nilai yang berlaku dalam dirinya. Ini disebabkan karena adanya             perbedaan pada masing – masing individu. Semakin banyak aspek-aspek    dalam pekerjaan yang sesuai dengan keinginan individu, maka akan semakin             tinggi tingkat kepuasan yang dirasakan, dan sebaliknya.
            Kepuasan kerja adalah sikap emosional yang menyenangkan dan   mencintai pekerjaannya. Sikap ini dicerminkan oleh moral kerja, kedisiplinan     dan prestasi kerja. Kepuasan kerja dinikmati dalam pekerjaan, luar pekerjaan,        dan kombinasi dalam dan luar pekerjaan. (Hasibuan, 2001).
            Kepuasan kerja merupakan suatu sikap umum terhadap pekerjaan seseorang, selisih antara banyaknya ganjaran yang diterima seorang pegawai        dan banyaknya yang mereka yakini apa yang seharusnya mereka        terima       (Stephen P. Robbins, 1996).
            Kepuasan kerja adalah kepuasan pegawai terhadap pekerjaannya antara    apa yang diharapkan pegawai dari pekerjaan/kantornya “ (Davis, 1995 : 105).    Dalam bukunya, “Perilaku Organisasi : Konsep, Kontroversi “,Robbins        mengatakan: “ Kepuasan kerja adalah sebagai suatu sikap umum seorang       individu terhadap pekerjaannya. Pekerjaan menuntut interaksi dengan rekan   kerja, atasan, peraturan dan kebijakan organisasi, standar kinerja, kondisi            kerja dan sebagainya. Seorang dengan tingkat kepuasan kerja tinggi            menunjukkan sikap positif terhadap kerja itu, sebaliknya seseorang tidak puas   dengan pekerjaannya menunjukkan sikap negatif terhadap kerja itu. (Robbins, 1996).



ASPEK- ASPEK KEPUASAN KERJA
Menurut Robbins (1996) ada lima aspek kepuasan kerja, yaitu:
1.         Kerja yang secara mental menantang
            Karyawan cenderung menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberi             mereka kesempatan untuk menggunakan keterampilan dan kemampuan             mereka dan menawarkan tugas, kebebasan dan umpan balik mengenai betapa         baik mereka mengerjakan tugas tersebut. Karakteristik ini membuat kerja    secara mental menantang. Pekerjaan yang kurang menantang menciptakan             kebosanan, sebaliknya jika terlalu banyak pekerjaan menantang dapat    menciptakan frustrasi dan perasaan gagal. Pada kondisi tantangan yang      sedang, kebanyakan karyawan akan mengalamai kesenangan dan kepuasan dalam bekerja.
2.         Ganjaran yang pantas
            Para karyawan menginginkan pemberian upah dan kebijakan promosi yang             mereka persepsikan adil dan sesuai dengan harapan mereka. Bila upah dilihat            adil yang didasarkan pada tuntutan pekerjaan, tingkat keterampilan individu,            dan standar upah karyawan, kemungkinan besar akan mengahsilkan            kepuasan. Tentu saja, tidak semua orang mengejar uang. Banyak orang            bersedia menerima uang yang lebih kecil untuk bekerja dalam lokasi yang       lebih diinginkan atau dalam pekerjaan yang kurang menuntut atau   mempunyai keleluasaan yang lebih besar dalam kerja yang mereka lakukan         dan jam-jam kerja. Intinya bahwa besarnya upah bukanlah jaminan untuk          mencapai kepuasan, namun yang lebih penting adalah persepsi keadilan.     Sama dengan karyawan yang berusaha mendapatkan kebijakan dan promosi         yang lebih banyak, dan status sosial yang ditingkatkan.
            Oleh karena itu individu-individu yang mempersepsikan bahwa keputusan promosi dibuat dalam cara yang adil kemungkinan besar akan mendapatkan   kepuasan dari pekerjaan mereka.
3.         Kondisi kerja yang mendukung         
            Karyawan perduli akan lingkungan kerja baik untuk kenyamanan pribadi    maupun untuk memudahkan mengerjakan tugas. Studi-studi memperagakan         bahwa karyawan lebih menyukai lingkungan kerja yang tidak berbahaya.       Seperti temperatur, cahaya, kebisingan, dan faktor lingkungan lain harus     diperhitungkan dalam pencapaian kepuasan kerja.

4.         Rekan kerja yang mendukung
            Karyawan akan mendapatkan lebih daripada sekedar uang atau prestasi      yang berwujud dari dalam kerja. Bagi kebanyakan karyawan, kerja juga           mengisi kebutuhan akan interaksi sosial. Oleh karena itu sebaiknya karyawan         mempunyai rekan sekerja yang ramah dan mendukung. Hal ini penting dalam         mencapai kepuasan kerja. Perilaku atasan juga merupakan determinan utama      dari kepuasan. Umumnya studi mendapatkan bahwa kepuasan karyawan     ditingkatkan bila atasan langsung bersifat ramah dan dapat memahami,       menawarkan pujian untuk kinerja yang baik, mendengarkan pendapat     karyawan, dan menunjukkan suatu minat pribadi pada mereka.
5.         Kesesuaian kepribadian dengan pekerjaan
            Pada hakikatnya orang yang tipe kepribadiannya sama dengan pekerjaan     yang mereka pilih seharusnya mereka mempunyai bakat dan kemampuan    yang tepat untuk memenuhi tuntutan dari pekerjaan mereka. Dengan        demikian akan lebih besar kemungkinan untuk berhasil pada pekerjaan             tersebut, dan lebih memungkinkan untuk mencapai kepuasan yang tinggi dari     pekerjaan mereka.
DIMENSI KEPUASAN KERJA
            Nelson and Quick   (2006) mengungkapkan bahwa kepuasan kerja   dipengaruhi 5 dimensi  spesifik dari pekerjaan yaitu gaji, pekerjaan itu       sendiri, kesempatan promosi, supervisi dan rekan kerja.
·        Gaji : sejumlah upah yang diterima dan tingkat dimana hal ini bisa diangap sebagai hal yang pantas dibandingkan dengen orang lain di dalam organisasi. Karyawan memandang gaji sebagai refleksi dari bagaimana manajemen memandang kontribusi mereka terhadap perusahaan. 
·       Promosi merupakan factor yang berhubungan dengan ada atau tidaknya kesempatan memperoleh peningkatan karier selama bekwerja. Kesempatan inilah yang memiliki pengaruh yang berbeda pada kepuasan kerja.
·       Supervise merupakan kemampuan atasan untuk memberikan bantuan teknis dan dukungan prilaku kepada bawahan yang mengalami permasalahan dalam pekerjaan.
·       Rekan Kerja merupakan tungakat dimana rekan kerja yang pandai dan mendukung secara social merupakan factor yang berhubungan dengan hubungan antara pegawai dan atsannya dan dengan pegawai lainnya baik yang sama maupun yang berbeda jenis pekerjaan.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja
            Kepuasan kerja menjadi masalah yang cukup menarik dan penting untuk     diselidiki karena terbukti besar manfaatnya baik bagi kepentingan pegawai, perusahaan atau organisasi dan masyarakat. Banyak faktor-faktor yang        mempengaruhi kepuasan kerja karyawan.
            Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja menurut   Hasibuan         (2005:203) sebagai berikut:
a.         Balas jasa yang adil dan layak
b.         Penempatan yang tepat sesuai keahlian
c.         Berat ringannya pekerjaan
d.        Suasana dan lingkungan pekerjaan
e.         Peralatan yang menjang pelaksanaan pekerjaan
f.          Sikap pimpinan dalam kepemimpinannya
g.         Sifat pekerjaan monoton atau tidak

Teori-teori Kepuasan Kerja
            Menurut Wexley dan Yukl (1977) teori-teori tentangkepuasan kerja ada      tiga macam yang lazim dikenal yaitu:
1.         Teori Perbandingan Intrapersonal (Discrepancy Theory)
            Kepuasan atau ketidakpuasan yang dirasakan oleh individu merupakan       hasil dari perbandingan atau kesenjangan yang dilakukan oleh diri sendiri             terhadap berbagai macam hal yang sudah diperolehnya dari pekerjaan dan yang menjadi harapannya. Kepuasan akan dirasakan oleh individu tersebut             bila perbedaan atau kesenjangan antara standar pribadi individu dengan apa       yang diperoleh dari pekerjaan kecil, sebaliknya ketidakpuasan akan dirasakan            oleh individu bila perbedaan atau kesenjangan antara standar pribadi individu        dengan apa yang diperoleh dari pekerjaan besar.
2.         Teori Keadilan (Equity Theory)
            Seseorang akan merasa puas atau tidak puas tergantung apakah ia    merasakan adanya keadilan atau tidak atas suatu situasi. Perasaan equity atau           inequity atas suatu situasi diperoleh seseorang dengan cara membandingkan          dirinya dengan orang lain yang sekelas, sekantor, maupun ditempat lain.

3.         Teori Dua – Faktor (Two Factor Theory)
            Prinsip dari teori ini adalah bahwa kepuasan dan ketidakpuasan kerja          merupakan dua hal yang berbeda. Menurut teori ini, karakteristik pekerjaan       dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yang satu dinamakan Dissatisfier      atau hygiene factors dan yang lain dinamakan satisfier atau motivators.        Satisfier atau motivators adalah faktor-faktor atau situasi yang dibuktikannya            sebagai sumber kepuasan kerja yang terdiri dari prestasi, pengakuan,      wewenang, tanggungjawab dan promosi. Hygiene factors adalah faktor-faktor       yang terbukti menjadi sumber kepuasan, terdiri dari gaji, insentif, pengawasan, hubungan pribadi, kondisi kerja dan status. 
Hubungan Pelaksanaan Kerja dengan Kepuasan Kerja
            Hubungan antara kepuasan kerja dengan variabel lain dapat bersifat positif             atau negatif, begitu pula dengan variable pelaksanaan kerja dengan kepuasan             kerja. Jika dalam pelaksanaan kerja seseorang melaksanakan dengan positif berarti akan berdampak positif pula pada kepuasan kerjanya. Namun pada orang yang dalam pelaksanaan kerja dengan negatif, pasti cenderung untuk       mengalami kepuasan kerja yang negatif (kurang) hingga ketidakpuasaan            dalam bekerja.
            Dalam tahap pelaksanaan kerja ada beberapa hubungan yang            mempengaruhi dalam proses pelaksaan yang juga akan berdampak pada         kepuasaan kerja, yaitu :
a.    Motivasi
b.    Pelibatan Kerja
c.    Organization Citizenship Behaviour
d.   Organizational Commitment
e.    Ketidakhadiran
f.     Perputaran (Turn Over)
g.    Perasaan Stress
h.    Prestasi Kerja


Menjelaskan Cara Mencegah dan Mengatasi Ketidakpuasan Kerja
            Pekerjaan dan situasi dalam bekerja di kantor  cenderung monoton , tidak   ada perubahan atau tantangan baru dalam tiap pekerjaan. Sehingga seringkali          pada karyawan yang mulai lama bekerja akan bosan hingga ada orang yang      berpindah-pindah kantor/perusahaan dikarenakan jenuh dan ketidakpuasaan           dalam bekerja. Sebenarnya ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk     memperbaiki keadaan tersebut, yaitu dengan menciptakan tantangan yang baru bagi diri sendiri dan juga dengan mengalahkan kebosanan dan yang    terpenting adalah dengan berpikir positif.
a.    Menciptakan Tantangan Baru
     Menciptakan tantangan baru bagi diri sendiri tidaklah mudah bagi orang yang kurang kreatif atau imajinatif, karna menciptakan tantangan baru membutuhkan imajinasi juga dengan melakukan yang terbaik bagi pekerjaan, contohnya bisa seperti memperbaiki keterampilan yang telah ada, membuat proyek sendiri selain pekerjaan yang telah ada yang akan membantu menaikan mood anda juga, dan dapat dengan membantu anak baru atau rekan kerja yang baru, hal ini dapat membantu meningkatkan keterampilan mereka dan mengasah keterampilan sendiri.
b.    Kalahkan kebosanan dengan ubah hal monoton dapat seperti mengambil cuti dan melakukan kegiatan yang menaikkan mood, bisa juga dengan minta kepada atasan untuk dapat melakukan tugas yang baru untuk memiliki tantangan yang baru, melakukan tugas relawan dalam sebuah proyek yang baru.
c.    Berpikir Positif
            Berhenti berpikir negatif dengan pekerjaan yang telah ada, kemudian tiap kali ada pikiran                  negatif yang datah kembalikan lagi pada perspektif yang benar mengenai suatu pekerjaan yang            dapat membantu kita agar giat bekerja, mengambil hikmah dari tiap pekerjaan baik dan                        buruknya, dan jika berbuat kesalahan atau terjadi kesalahan baik sengaja maupun  tidak tetap            bersabar dan belajar dari kesalahan tersebut, dan yang paling terakhir adalah dengan bersyukur;        mensyukuri segala pekerjaan yang dimiliki akan mengurangi rasa beban yang ada dan menaikkan            kepuasaan atas apapun yang telah dikerjakan.



DAFTAR PUSTAKA
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23597/3/Chapter%20II.pdf
http://skripsi-manajemen.blogspot.co.id/2011/02/pengertian-kepuasan-kerja.html

http://jurnal-sdm.blogspot.co.id/2009/04/teori-teori-tentang-kepuasan-kerja-dan.html

Sunday, November 8, 2015

PSIKOLOGI MANAJEMEN

Nama Anggota :
Abella Chyntia
Annisa Herliana
Jeshi Audina K

Kelas 3PA16


Kekuasaan dan Leadership
Definisi Kekuasaan
            Kekuasaan adalah suatu kemampuan untuk mempengaruhi orang, merubah orang, atau situasi dan kekuasaan dapat berkonotasi postitif maupun negatif.
Sumber-Sumber Kekuasaan
            Sumber-sumber kekuasaan menurut French dan Raven, ada lima bentuk kekuasaan yang dirasakan, mungkin dimiliki oleh seorang pemimpin, yaitu:
1.      Kekuasaan Ganjaran
Suatu kekuasaan yang didasarkan atas harapan, pujian, penghargaan atau pendapatan bagi terpenuhinya permiantaan seseorang pemimpin terhadap bawahannya.
2.      Kekuasaan Paksaan
Suatu kekuasaan yang didasarkan atas rasa takut, seorang bawahan bahwa jika ia gagal atas permintaan pemimpinnya dapat menyebabkan dijatuhkannya hukuman.
3.      Kekuasaan Legal
Suatu kekuasaan yang diperoleh secara sah karena posisi seseorang dalam kelompok.
4.      Kekuasaan Keahlian
Suatu kekuasaan yang didasarkan atas keterampilan khusus, keahlian, atau pengetahuan yang dimiliki pemimpin dimana bawahannya menganggap bahwa pemimpin itu mempunyai keahlian yang melebihi keahian mereka sendiri.
5.      Kekuasaan Acuan
Suatu kekuasaan yang diasarkan atas daya tarik seseorang, seorang pemimpin dikagumi oleh pra pengikutnya karena memiliki suatu ciri khas, bentuk kekuasaan ini secara populer dinamakan kharisma.
Definisi Leadership
            Leadership adalah proses mempengaruhi atau memberi contoh yang dilakukan oleh pemimpin kepada pengikutnya atau anggotanya yang bertujuan untuk mencapai tujuan organisasi.
Teori-Teori Kepemimpinan Partisipatif
a.     Teori X dan Teori Y
Teori X dan Y ini dikemukakan oleh Douglas McGregor, dimana para pemimpin organisasi perusahaan memiliki dua jenis pandangan terhadap para pegawai.
-          Teori X : diasumsikan bahwa karyawan tidak suka bekerja, malas, tidak menyukai tanggung jawab, dan harus dipaksa dan diarahkan untuk berprestasi. Contohnya adalah pekerja bangunan.
Keuntungan teori X adalah karyawan bekerja untuk memaksimalkan kebutuhan pribadi. Kelemahan teori X adalah karyawan malas, tidak mampu mengendalikan diri dan disiplin.
-          Teori Y diasumsikan bahwa karyawan menyukai kerja, bertanggung jawab, mampu membuat keputusan, mengarahkan diri sendiri dan mampu mengendalikan diri. Contohnya adalah manajer yang berorientasi pada kinerja.
Keuntungan teori Y adalah pekerja menunjukkan kemampuan pengaturan diri, tanggung jawab, inisiatif tinggi, dan pekerja akan lebih memotivasi diri dari pekerjaan. Kelemahan teori Y adalah apresiasi diri akan terhambat karna pekerja tidak selalu menuntut kepada perusahaan.
b.    Teori sistem 4 dari Rensis Linkert
Asumsi dasarnya adalah, bila seseorang memperhatikan dan memelihara pekerjaannya dengan baik, maka operasional organisasi akan membaik. Fungsi-fungsi manajemen berlangsung dalam empat sistem, yaitu:
1.      Sistem pertama ( exploitive authoritative )
Pemimpin menentukan dan memerintahkan semua hal, standard, metode, dan hasil kerja ditentukan pimpinan dan kegagalan mencapai tujuanyang ditetapkan oleh pimpinan, diancam dengan hukuman.
2.      Sistem kedua ( benevolent authoritative/otokrasi yang baik hati )
Pimpinan maish tetap sumber keputusan dan perintah, tetapi bawahan diperbolehkan memberikan komentar dan bawahan memperoleh sejumlah kebebasan untuk menyelesaikan tugas dalam batas-batas yang telah ditentukan.
3.      Sistem ketiga ( manajer konsultatif )
Pimpinan mengambil keputusan dan mengeluarkan perintah setelah didiskusikannya dengan bawahan dan pimpinan dapat memutuskan bagaimana melaksanakan tugas mereka.
4.      Sistem keempat ( partisipative group/kelompok partisipatif )
Tujuan dan keputusan-keputusan yang berkaitan dengan tugas ditentukan secara bersama-sama dalam kelompok.
c.      Theory of Leadership Pattern Choice dari Tannenbaum & Schmidt
Model Leadership Continuum
          Teori ini merupakan hasil pemikiran dari Robert Tannenbaum dan Warren H.Schmidt. Tannenbaun dan Schmidt dalam Hersey dan Blanchard (1994) berpendapat bahwa pimpinan mempengaruhi pengikutnya melalui beberapa cara, yaitu dari cara yang menonjolkan sisi ekstrim yang disebut dengan perilaku otokratis sampai dengan cara yang menonjolkan sisi ekstrim lainnya yang disebut dengan perilaku demokratis.
            Perilaku otokratis, pada umumnya dinilai bersifat negatif, dimana sumber kuasa atau wewenang berasal dari adanya pengaruh pimpinan.
Perilaku demokratis, perilaku kepemimpinan ini memperoleh sumber kuasa atau wewenang yang berawal dari bawahan.
Menurut teori continuum ada tujuh tingkatan hubungan pemimpin dengan bawahan:
§  Pemimpin membuat dan mengumumkan keputusan terhadap bawahan (telling).
§  Pemimpin menjualkan dan menawarkan keputusan terhadap bawahan (selling).
§  Pemimpin menyampaikan ide dan mengundang pertanyaan.
§  Pemimpin memberiakn keputusan tentative dan keputusan masih dapat diubah.
§  Pemimpin memberikan problem dan meminta sarang pemecahannya kepada bawahan (consulting).
§  Pemimpin menentukan batasan-batasan dan minta kelompok untuk membuat keputusan.
§  Pemimpin mengizinkan bawahan berfungsi dalam batas-batas yang ditentukan (joining).
Konsep Tree of Leadership dari Vroom & Yetton
            Salah  satu  tugas  utama  dari  seorang  pemimpin  adalah  membuat  keputusan.  Karena keputusan-keputusan yg dilakukan para pemimpin sering kali  sangat  berdampak kepada para bawahan  mereka,  maka  jelas  bahwa  komponen  utama  dari  efektifitas  pemimpin  adalah kemampuan mengambil keputusan yang sangat menentukan keberhasilan melaksanakan tugas-tugas pentingnya.
            Pemimpin yang mampu membuat keputusan dengan baik akan lebih efektifdalam jangka panjang dibanding dengan mereka yang tidak mampu membuat keputusan denganbaik. Sebagaimana telah kita pahami bahwa partisipasi bawahan dalam pengambilan keputusandapat meningkatkan kepuasan kerja, mengurangi stress, dan meningkatkan produktivitas. Normative Theory dari Vroom and Yetton sebagai berikut :
a.       AI (Autocratic)
Pemimpin  memecahkan  masalah  atau  membuat  keputusan  secara  unilateral,  menggunakan informasi yang ada.
b.      AII (Autocratic)
Pemimpin  memperoleh  informasi  yang  dibutuhkan  dari  bawahan  namun  setelah  membuat keputusan unilateral.
c.       CI  (Consultative)
Pemimpin membagi  permasalahan dengan bawahannya secara perorangan,  namun setelah itu membuat keputusan secara unilateral.
d.      CII  (Consultative)
Pemimpin membagi permasalahan dengan bawahannya secara berkelompok dalam rapat, namun setelah itu membuat keputusan secara unilateral.
e.       GII (Group Decision) Pemimpin  membagi  permasalahan  dengan  bawahannya  secara berkelompok  dalam  rapat; Keputusan diperoleh melalui diskusi terhadap konsensus.
            Dalam  memilih  alternatif-alternatif  pengambilan  keputusan  tersebut  para  pemimpin  perluterlebih dahulu membuat pertanyaan kepada diri sendiri, seperti: apakah kualitas pengambilankeputusan yang tinggi diperlukan, apakah saya memiliki informasi yang cukup untuk membuat keputusan  yang  berkualitas  tersebut,  apakah  permasalahannya  telah  terstruktur  dengan  baik.
            Dalam  kaitannya  dengan  penerimaan  keputusan,  pemimpin  harus  bertanya,  apakah  sangatpenting untuk efektifitas implementasi para bawahan menerima keputusan, apakah para bawahanmenerima tujuan organisasi yang akan dicapai melalui pemecahan masalah ini.
a.       Normative Theory: Rules Designed To Protect Decision Quality (Vroom & Yetton, 1973).
b.      Leader Information Rule: Jika kualitas keputusan penting dan anda tidak punya cukup informasiatau ahli untuk memecahkan masalah itu sendiri, eleminasi gaya autucratic.
c.       Goal Congruence Rule: Jika kualitas keputusan penting dan bawahan tidak suka untuk membuat keputusan yang benar, aturlah keluar gaya partisipasi tertinggi.
d.      Unstructured  Problem Rule:  Jika  kualitas  keputusan  penting  untuk  anda  kekurangan  cukup informasi dan ahli dan masalah ini tidak terstruktur, eliminasi gaya kepemimpinan autocratic.
e.       Acceptance  Rule:  Jika  persetujuan dari  bawahan adalah  krusial  untuk implementasi  efektif,eliminasi gaya autocratic.
f.       Conflict  Rule:  Jika persetujuan dari  bawahan adalah krusial  untuk implementasi  efektif,  danmereka memegang opini  konflik di  luar makna pencapaian beberapa sasaran,  eliminasi  gayaautocratic.
g.      Fairness  Rule:  Jika  kualitas  keputusan  tidak  penting,  namun  pencapaiannya  penting,  maka gunakan gaya yang paling partisipatif.
h.      Acceptance Priority Rule: Jika persetujuan adalah kritikan dan belum tentu mempunyai hasildari keputusan autocratic dan jika bawahan tidak termotivasi untuk mencapai tujuan organisasi, gunakan gaya yang paling partisipatif.
            Model ini membantu pemimpin dalam menentukan gaya yang harus dipakai dalam berbagaisituasi. Tidak ada satu gaya yang dapat dipakai pada segala situasi.  Fokus utama harus padamasalah yang akan dihadapi dan situasi di mana masalah ini terjadi. Gaya kepemimpinan yangdigunakan pada satu situasi tidak boleh membatasi gaya yang dipakai dalam situasi lain.
Hal-hal yang harus diperhatikan:
1)      Beberapa proses sosial mempengaruhi tingkat partisipasi bawahan dalam pemecahan masalah.
2)      Spesifikasi  kriteria  untuk  menilai  keefektifan  keputusan  yang  termasuk  dalam  keefektifankeputusan antara lain: kualitas keputusan, komitmen bawahan, dan pertimbangan waktu.
3)      Kerangka untuk menggambarkan perilaku atau gaya pemimpin yang spesifik.
4)      Variabel diagnostik utama yang menggambarkan aspek penting dari situasi kepemimpinan.
Teori kepemimpinan dari konsep Contingency Theory of Leaderhip dari Fiedler
            Para pemimpin  mencoba  melakukan  pengaruhnya  kepada  anggota  kelompok dalam kaitannya dengan situasi-situasi  yg spesifik. Karena situasi  dapat sangat bervariasi  sepanjang dimensi yang berbeda, oleh karenanya hanya masuk akal untuk memperkirakan bahwa tidak adasatu gaya atau pendekatan kepemimpinan yang akan selalu terbaik. Penerimaan kenyataan dasarini  melandasi  teori  tentang  efektifitas  pemimpin  yang  dikembangkan  oleh Fiedler,  yang menerangkan teorinya sebagai Contingency Approach.
            Asumsi dasar adalah bahwa sangat sulit bagi pemimpin untuk mengubah gaya kepemimpinan yang telah membuatnya berhasil,  penekanan pada efektifitas dari  suatu kelompok, efektivita sesuatu organisasi tegantung pada (is contingent upon), dua variable yang saling berinteraksi yaitu:
1)      sistem motivasi dari pemimpin,
2)      tingkat atau keadaan yang menyenangkan dari situasi.
            Model  kepemimpinan  kontingensi  Fiedler  (1964,  1967)  menjelaskan  bagaimana  situasi menengahi  hubungan antara efektivitas  kepemimpinan dengan ukuran  ciri  yang disebut  nilai LPC rekan kerja yang paling tidak disukai (Yukl, 2005:251). Fiedler menemukan bahwa tugas pemimpin berorientasi  lebih efektif  dalam situasi  kontrol  rendah dan moderat  dan hubungan manajer berorientasi lebih efektif dalam situasi kontrol moderat.
            Model  kepemimpinan  Fiedler  (1967)  disebut  sebagai  model  kontingensi  karena  model tersebut  beranggapan  bahwa  kontribusi  pemimpin  terhadap  efektifitas  kinerja  kelompok tergantung  pada  cara  atau gaya kepemimpinan  (leadership  style)  dan  kesesuaian  situasi  (the favourableness of the situation) yang dihadapinya.
            Menurut Fiedler, ada tiga faktor utama yangmempengaruhi kesesuaian situasi  dan ketiga faktor ini selanjutnya mempengaruhi keefektifanpemimpin.  Ketiga  faktor  tersebut  adalah  hubungan  antara  pemimpin  dan  bawahan  (leader-member relations), struktur tugas (the task structure) dan kekuatan posisi (position power). System kepemimpinan dibagi menjadi 3 dimensi:
1.      Hubungan pemimpin-pengikut
Pemimpin akan mempunyai lebih banyak kekuasaan dan pengaruh, apabila ia dapat menjalin hubungan  yang  baik  dengan  anggota-anggotanya,  artinya  kalau  ia  disenangi,  dihormati  dandipercaya.
2.      Struktur tugas
Bahwa  penugasan  yang  terstruktur  baik,  jelas,  eksplisit,  terprogram,  akan  memungkinkan pemimpin  lebih  berpengaruh  dari  pada  kalau  penugasaan  itu  kabur,  tidak  jelas  dan  tidak terstruktur.
3.      Posisi kekuasaan
Pemimpin  akan  mempunyai  kekuasaan  dan  pengaruh  lebih  banyak  apabila  posisinya  atau kedudukannya memperkenankan ia  memberi  hukuman,  mengangkat  dan  memecat,  dari  padakalau ia memiliki kedudukan seperti itu.

Teori Kepemimpinan dari Konsep Path Goal Theory
            Teori path-goal dalam Kepemimpinan Sekarang ini salah satu pendekatan yang paling diyakiniadalah teori pathgoal, teori path-goal adalah suatu model kontijensi kepemimpinan yang dikembangkan oleh Robert House, yang menyaring elemen-elemen dari penelitian Ohio State tentang kepemimpinan pada inisiating structure dan consideration serta teori pengharapan motivasi.
            Dasar dari teori ini adalah bahwa merupakan tugas pemimpin untuk membantu anggotanya dalam mencapai tujuan mereka dan untuk memberi arah dan dukungan atau keduanya yang dibutuhkan untuk menjamin tujuan mereka sesuai dengan tujuan kelompok atau organisasi secara keseluruhan. Istilah pathgoal ini datang dari keyakinan bahwa pemimpin yang efektif memperjelas jalur untuk membantu anggotanya dari awal sampai ke pencapaian tujuan mereka, dan menciptakan penelusuran disepanjang jalur yang lebih mudah dengan mengurangi hambatan dan pitfalls (Robbins, 2002).
            Menurut teori path-goal, suatu perilaku pemimpin dapat diterima oleh bawahan pada tingkatanyang ditinjau oleh mereka sebagai sebuah sumber kepuasan saat itu atau masa mendatang. Perilaku pemimpin akan memberikan motivasi sepanjang (1) membuat bawahan merasa butuhkepuasan dalam pencapaian kinerja yang efektif, dan (2) menyediakan ajaran, arahan, dukungan dan penghargaan yang diperlukan dalam kinerja efektif (Robins, 2002).
            Untuk pengujian pernyataan ini, Robert House mengenali empat perilaku pemimpin. Pemimpin yang berkarakter directive-leader, supportive leader, participative leader dan achievement-oriented leader. Berlawanan dengan pandangan Fiedler tentang perilaku pemimpin, House berasumsi bahwa pemimpin itu bersifat fleksibel.
            Teori path-goal mengimplikasikan bahwa pemimpin yang sama mampu menjalankan beberapa atau keseluruhan perilaku yang bergantung pada situasi (Robins, 2002).Model kepemimpinan path-goal berusaha meramalkan efektivitas kepemimpinan dalam berbagai situasi. Menurut model ini, pemimpin menjadi efektif karena pengaruh motivasi mereka yang positif, kemampuan untuk melaksanakan, dan kepuasan pengikutnya.
            Model path-goal menjelaskan bagaimana seorang pimpinan dapat memudahkan bawahan melaksanakan tugas dengan menunjukkan bagaimana prestasi mereka dapat digunakan sebagai alat mencapai hasil yang mereka inginkan. Teori Pengharapan (Expectancy Theory) menjelaskan bagaimana sikap dan perilaku individu dipengaruhi oleh hubungan antara usaha dan prestasi (path-goal) dengan valensi dari hasil (goal attractiveness).
            Individu akan memperoleh kepuasan dan produktif ketika melihat adanya hubungan kuat antara usaha dan prestasi yang mereka lakukan dengan hasil yang mereka capai dengan nilai tinggi. Model path-goal juga mengatakan bahwa pimpinan yang paling efektif adalah mereka yang membantu bawahan mengikuti cara untuk mencapai hasil yang bernilai tinggi
            Oleh karenanya, Model path-goal menganjurkan bahwa kepemimpinan terdiri dari dua fungsi dasar:
1.      Fungsi Pertama adalah memberi kejelasan alur. Maksudnya, seorang pemimpin harus mampu membantu bawahannya dalam memahami bagaimana cara kerja yang diperlukan di dalam menyelesaikan tugasnya.
2.      Fungsi Kedua adalah meningkatkan jumlah hasil (reward) bawahannya dengan memberi dukungan dan perhatian terhadap kebutuhan pribadi mereka. Untuk membentuk fungsi-fungsi tersebut, pemimpin dapat mengambil berbagai gaya kepemimpinan.
            Empat perbedaan gaya kepemimpinan dijelaskan dalam model path-goal sebagai berikut (Koontz et al dalam Kajanto, 2003)
1)      Kepemimpinan pengarah (directive leadership)
Pemimpinan memberitahukan kepada bawahan apa yang diharapkan dari mereka, memberitahukan jadwal kerja yang harus disesuaikan dan standar kerja, serta memberikan bimbingan/arahan secara spesifik tentang cara-cara menyelesaikan tugas tersebut, termasuk di dalamnya aspek perencanaan, organisasi, koordinasi dan pengawasan.
2)      Kepemimpinan pendukung (supportive leadership)
Pemimpin bersifat ramah dan menunjukkan kepedulian akan kebutuhan bawahan. Ia juga memperlakukan semua bawahan sama dan menunjukkan tentang keberadaan mereka, status, dan kebutuhan-kebutuhan pribadi, sebagai usaha untuk mengembangkan hubungan interpersonal yang menyenangkan di antara anggota kelompok. Kepemimpinan pendukung (supportive) memberikan pengaruh yang besar terhadap kinerja bawahan pada saat mereka sedang mengalami frustasi dan kekecewaan.
3)      Kepemimpinan partisipatif (participative leadership)
Pemimpin partisipatif berkonsultasi dengan bawahan dan menggunakan saran-saran dan ide mereka sebelum mengambil suatu keputusan. Kepemimpinan partisipatif dapat meningkatkan motivasi kerja bawahan.
4)      Kepemimpinan berorientasi prestasi (achievement-oriented leadership)
Gaya kepemimpinan dimana pemimpin menetapkan tujuan yang menantang dan mengharapkan bawahan untuk berprestasi semaksimal mungkin serta terus menerus mencari pengembangan prestasi dalam proses pencapaian tujuan tersebut. Dengan menggunakan salah satu dari empat gaya di atas dan dengan memperhitungkan faktor-faktor seperti yang diuraikan tersebut, seorang pemimpin harus berusaha untuk mempengaruhi persepsi para karyawan atau bawahannya dan mampu memberikan motivasi kepada mereka, dengan cara mengarahkan mereka pada kejelasan tugas-tugasnya, pencapaian tujuan, kepuasan kerja dan pelaksanaan kerja yang efektif.
Terdapat dua faktor situasional yang diidentifikasikan kedalam model teori path-goal, yaitu: personal characteristic of subordinate and environmental pressures and demmand (Gibson, 2003).
A.    Karakteristik Bawahan Pada faktor situasional ini, teori path-goal memberikan penilaian bahwa perilaku pemimpin akan bisa diterima oleh bawahan jika para bawahan melihat perilaku tersebut akan merupakan sumber yang segera bisa memberikan kepuasan atau sebagaisuatu instrumen bagi kepuasan-kepuasan masa depan.
Karakteristik bawahan mencakup tiga hal, yakni:
a.       Letak Kendali (Locus of Control)
Hal ini berkaitan dengan keyakinan individu sehubungan dengan penentuan hasil. Individu yang mempunyai letak kendali internal meyakini bahwa hasil (reward) yang mereka peroleh didasarkan pada usaha yang mereka lakukan sendiri. Sedangkan mereka yang cenderung letak kendali eksternal meyakini bahwa hasil yang merekaperoleh dikendalikan oleh kekuatan di luar kontrol pribadi mereka. Orang yang internal cenderung lebih menyukai gaya kepemimpinan yang participative, sedangkan eksternal umumnya lebih menyenangi gaya kepemimpinan directive
b.  Kesediaan untuk Menerima Pengaruh (Authoritarianism) Kesediaan orang untuk menerima pengaruh dari orang lain. Bawahan yang tingkat authoritarianism yang tinggi cenderung merespon gaya kepemimpinan  yang directive, sedangkan bawahan yang tingkat authoritarianism rendah cenderung memilih gaya kepemimpinan partisipatif.

c.       Kemampuan (Abilities)
Kemampuan dan pengalaman bawahan akan mempengaruhi apakah mereka dapat bekerja lebih berhasil dengan pemimpin yang berorientasi prestasi (achievement-oriented) yang telah menentukan tantangan sasaran yang harus dicapai dan mengharapkan prestasi yang tinggi, atau pemimpin yang supportive yang lebih suka memberi dorongan dan mengarahkan mereka. Bawahan yang mempunyai kemampuan yang tinggi cenderung memilih gaya kepemimpinan achievement oriented, sedangkan bawahan yang mempunyai kemampuan rendah cenderung memilih pemimpin yang supportive.
B.     Karakteristik Lingkungan Pada faktor situasional ini path-goal menyatakan bahwa perilaku pemimpin akan menjadi faktor motivasi terhadap para bawahan, jika:
a.       Perilaku tersebut akan memuaskan kebutuhan bawahan sehingga akan memungkinkan tercapainya efektivitas dalam pelaksanaan kerja.
b.    Perilaku tersebut merupakan komplimen dari lingkungan para bawahan yang dapat berupa pemberian latihan, dukungan dan penghargaan yang diperlukan untuk mengidentifikasikan pelaksanaan kerja. Karakteristik lingkungan terdiri dari tiga hal, yaitu:
1.  Struktur Tugas Struktur kerja yang tinggi akan mengurangi kebutuhan kepemimpinan  yang direktif.
2. Wewenang Formal Kepemimpinan yang direktif akan lebih berhasil dibandingkan dengan partisipasi bagi organisasi dengan strktur wewenang formal yang tinggi.
3.      Kelompok Kerja Kelompok kerja dengan tingkat kerjasama yang tinggi kurang membutuhkan kepemimpinan supportif.


Sumber:
Kartini Kartono. (1998). Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta : PT. Grafindo

Persada Djamaludin  Ancok.  Hubungan  Kepemimpinan  Transformasional  dan  Transaksional  dengan Motivasi Bawahan di Militer. Journal of Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Volume 32. No. 2. Hal: 112-127.