Nama : Annisa Herliana
Kelas : 2PA16
NPM : 11513135
Tugas Ke 2
HUBUNGAN INTERPERSONAL
A.
MODEL-MODEL
HUBUNGAN INTERPERSONAL
Hubungan Interpersonal adalah dimana
ketika kita berkomunikasi, kita bukan sekedar menyampaikan isi pesan, tetapi
juga menentukan kadar hubungan interpersonalnnya.
Hubungan interpersonal mempunyai 4
model, yaitu:
1.
Model pertukaran sosial
(social exchange model)
Hubungan
interpersonal yang diidentifikasikan dengan transaksi dagang, yaitu untuk
memperoleh sesuatu dengan adanya harga yang harus dibayar.
2.
Model peranan (role
model)
Dalam
model ini, hubungan interpersonal digambarkan sebagau panggung sandiwara.
Individu akan dipandang baik apabila dapat memainkan peran yang sesuai dengan
harapan lawan hubungannya dan bila individu bertindak jauh dari harapan, maka
hubungannya akan cenderung menjadi renggang.
3.
Model permainan (games
people play model)
Digunakannya
analisis transaksional dimana manusia diklasifikasikan dalam tiga karakter,
yaitu kepribadian anak-anak, dewasa, dan orang tua.
4.
Model interaksional
(interacsional model)
Model
ini memandang hubungan interpersonal sebagai suatu sistem. Setiap sistem
memiliki sifat struktural, integratif, dan medan. Model ini menggabungkan model
pertukaran, peranan, dan permainan.
B.
MEMULAI
HUBUNGAN
Tahap-tahap dalam hubungan
interpersonal, yaitu:
1.
Pembentukan
Tahap
ini disebut juga tahap perkenalan. Beberapa penelitian menemukan hal-hal
menarik dari proses perkenalan, yaitu fase
pertama, ‘fase kontak yang permulaan’ yaitu usaha dari kedua belah pihak
yang berusaha menggali identitas. Jika masing-masing individu merrrasa memiliki
kesamaan, mulailah proses mengungkapkan diri.
Menururt
Charles R. Berger informasi ada tujuh tahap perkenalan, yaitu:
a.
Informasi demografis
b.
Sikap dan pendapat
c.
Rencana yang akan
datang
d.
Kepribadian
e.
Perilaku pada masa lalu
f.
Orang lain
g.
Hobi dan minat
2.
Peneguhan Hubungan
Hubungan
interpersonal tidak bersifat statis, tetapi selalu berubah. Untuk memelihara
dan memperteguh hubungan interpersonal diperlukan tindakan-tindakan tertentu
untuk mengembalikan keseimbangan. Ada empat faktor dalam memelihara
keseimbangan, yaitu:
a.
Komunikasi efektif
b.
Ekspresi wajah
c.
Kepribadian
d.
Stereotyping
e.
Kesamaan karakter
personal
f.
Daya tarik
g.
Ganjaran
h.
Kompetensi
C.
HUBUNGAN
PERAN
Menurut R. Linton, peran adalah dynamic aspect of status, yaitu adalah
seseorang menjalankan perannya sesuai hak dan kewajibannya.
Menurut Merton, peran adalah complement of role relationship which person
by virtue of occupying a particular status, maksudnya adalah pelengkap
hubungan peran yang dimiliki seseorang karena menduduki status sosial tertentu.
Ada dua jenis peran, yaitu:
1.
Role expectation, peran
yang di harapkan masyarakat
2.
Role performance, peran
yang diharapkan oleh pemegang peran
D.
INTIMASI
DAN HUBUNGAN PRIBADI
Strong dan Devault (1989) sendiri mendesripsia intimasi sebagai perasaan
hangat, dekat, dan teriat yang didapatan individu etia mencintai seseorang.
Atwater (1983) intimasi mengarah pada suatu hubungan yang bersifat
informal, hubungan kehangatan antara dua orang yang diakibatkan oleh
persatuan yang lama.
E.
INTIMASI
DAN PERTUMBUHAN
Apapun alasan
untuk berpacaran, untuk bertumbuh dalam keintiman, yang terutama adalah cinta.
Keintiman tidak akan bertumbuh jika tidak ada cinta . Keintiman berarti proses
menyatakan siapa kita sesungguhnya kepada orang lain. Keintiman adalah
kebebasan menjadi diri sendiri. Keintiman berarti proses membuka topeng kita
kepada pasangan kita. Bagaikan menguliti lapisan demi lapisan bawang, kita pun
menunjukkan lapisan demi lapisan kehidupan kita secara utuh kepada pasangan
kita.
Keinginan
setiap pasangan adalah menjadi intim. Kita ingin diterima, dihargai, dihormati,
dianggap berharga oleh pasangan kita. Kita menginginkan hubungan kita menjadi
tempat ternyaman bagi kita ketika kita berbeban. Tempat dimana belas kasihan
dan dukungan ada didalamnya. Namun, respon alami kita adalah penolakan untuk
bisa terbuka terhadap pasangan kita. Hal ini dapat disebabkan karena :
(1)kita tidak
mengenal dan tidak menerima siapa diri kita secara utuh.
(2)kita tidak
menyadari bahwa hubungan pacaran adalah persiapan memasuki
pernikahan.
(3) kita tidak percaya
pasangan kita sebagai orang yang dapat dipercaya untuk memegang rahasia.
(4) kita dibentuk menjadi
orang yang berkepribadian tertutup.
(5) kita memulai pacaran
bukan dengan cinta yang tulus .
CINTA DAN PERKAWINAN
Cinta adalah sebuah emosi
dari kasih sayang yang kuat dan keterkaitan pribadi. Pendapat lainnya, cinta
adalah sebuah aksi atau kegiatan aktif yang dilakukan manusia terhadap objek
lain, yang berupa pengorbanan diri, empati, perhatian, memberikan kasih sayang,
membantu, menuruti perkataan, dan mau melakukan apapun yang diinginkan objek
tersebut.
Perkawinan adalah ikatan
sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi yang membentuk hubungan
kekerabatan dan yang merupakan suatu pranata dalam budaya setempat dan
meresmikan hubungan antar pribadi yang biasanya intim dan seksual.
A.
MEMILIH
PASANGAN
Dalam memilih pasangan hidup, baik laki-laki maupun perempuan keduanya
memiliki hak untuk memilih pasangan yang paling tepat untuk dirinya. Jika menginginkan
pasangan hidup yang baik, maka kita juga harus baik.
Menurut Julianto Simanjuntak, memilih pasangan harus ada kesepadanan
alias kecocokan.
B.
HUBUNGAN
DALAM PERKAWINAN
Menurut Dawn J. Lipthrott, LCSW, ada lima tahap perkembangan dalam
kehidupan perkawinan, yaitu:
Tahap
pertama, Romantic Love: tahap
saat anda dan pasangan merasakan gelora cinta yang mengebu-gebu. Pada tahap ini
selalu melakukan kegiatan bersama-sama dalam situasi romantis dan penuh cinta. Contohnya,
saat berbulan madu pernikahan.
Tahap
kedua, Dissapointment or Distress:
pada tahap ini suami istri kerap saling menyalahkan, mudah marah dan kecewa
pada pasangan. Dan terkadang cara untuk mengalihkan perasaan stres yang
memuncak adalah dengan menjalin hubungan dengan orang lain, lebih perhatian
pada pekerjaan, anak, atau hal lain yang sesuai minat dan kebutuhan. Pada tahap
ini bisa membawa pasangan ke situasi yang tak tertahankan dan banyak pasangan
yang memilih pisah.
Tahap
ketiga, Knowledge and Awareness:
menurut Dawn, pasangan yang sampai pada tahap ini biasanya senang untuk meminta
kiat-kiat kebahagiaan rumah tangga kepada pasangan lain yang lebih tua,
mengikuti seminar, dan kosultasi perkawinan.
Tahap
keempat, Transformation: pada
tahap ini, pasangan akan mencoba berprilaku yang berkenan dihati pasangan
masing-masing. Pasangan akan saling menunjukan penghargaan, empati, dan
ketulusan untuk mengembangkan kehidupan perkawinan yang nyaman dan tentram.
Tahap
kelima, Real Love: Menurut Dawn “Real
Love sangatlah mungkin untuk pasangan yang memiliki keinginan untuk
mewujudkannya. Real Love tidak bisa terjadi dengan sendirinya tanpa adanya
usaha dari pasangan tersebut.”
C.
PENYESUAIAN
DAN PERTUMBUHAN DALAM PERKAWINAN
Hirning
dan Hirning (1956) mengatakan bahwa penyesuaian perkawinan itu lebihkompleks
dibandingkan yang terlihat. Dua orang memasuki perkawinan harus menyesuaikan
satu sama lain dengan tingkatan yang berbeda-beda. Untuk tingkat organismik
mereka harus menyesuaikan diri dengan sensori, motor, emosional dan kapasitas
intelektual dan kebutuhan. Untuk tingkat kepribadian, masing-masing mereka
harus menyesuaikan diri dengan kebiasaan, keterampilan, sikap, ketertarikan,
nilai-nilai, sifat, konsep ego, dan kepercayaan. Pasangan juga harus
menyesuaikan dengan lingkungan mereka, termasuk rumah tangga yang baru,
anak-anak, sanak keluarga, teman, dan pekerjaan.
Banyak faktor sosial dan demografis yang ditemukan
memiliki hubungan dengan penyesuaian perkawinan (Dyer, 1983). Berikut ini
beberapa hal yang mempengaruhi penyesuaian perkawinan :
Usia
Udry dan Schoen (dalam Dyer, 1983)mengatakan bahwa penyesuaian pekawinan
rendah apabila pasangan menikah pada usia yang sangat muda, yaitu laki-laki di
bawah 20 tahun dan wanita di bawah 18 tahun. Mereka dihadapkan pada tuntutan
dan beban seputar perkawinan, dimana bisa menyebabkan rasa kecewa, berkecil
hati, dan tidak bahagia. Penelitian juga mengatakan bahwa dalam
ketidakmatangan, cenderung untuk melihat perkawinan dari segi romantismenya dan
kurang persiapan untuk menerima tanggung jawab dari perkawinan tersebut.
Tapi dalam hal perbedaan usia, penelitian ditemukan tidak terlalu
meyakinkan. Ada penelitian menemukan bahwa akan lebih menguntungkan bagi
pasangan yang memiliki usia yang sama (Locke; Blode & Wolfe, dalam Dyer,
1983), namun pada penelitian lain juga ditemukan bahwa usia yang berbeda tidak
memiliki pengaruh yang signifikan dalam penyesuaian pekawinan (Udry, Nelson
& Nelson, dalam Dyer, 1983).
Agama
Hubungan antara agama dan penyesuaianperkawinan sudah diselidiki
sepanjang tahun. Walaupun begitu, selalu ditemukan hasil yang berbeda-beda dan
selalu tidak konsisten. Terman (dalam Dyer, 1983) menyimpulkan bahwa latar
belakang agama dari pasangan bukan faktor yang berarti dalam kebahagiaan
perkawinan. Pada penelitian pernikahan beda agama (Christensen & Barber;
Glenn, dalam Dyer, 1983) ditemukan bahwa pernikahan beda agama antara Katolik,
Yahudi, dan Protestan sedikit kurang bahagia dibandingkan pernikahan dengan
agama yang sama di ketiga agama tersebut.
Ras
Sejauh ini tidak ada penelitian khusus penyesuaian perkawinan dimana
perkawinan antar ras sebagai variabelnya. Walaupun ada opini terkenal yang
mengatakan bahwa perkawinan antar ras penuh resiko, sebenarnya secara statistik
sangat sedikit yang mendukung pandangan ini (Udry, dalam Dyer, 1983).
Penelitian yang dilakukan Monahan (dalam Dyer, Universitas Sumatera
Utara331983) pada perkawinan antar ras di Iowa, ditemukan bahwa perkawinan
antar kulit hitam dan putih lebih stabil daripada perkawinan kulit hitam dan
hitam; dia juga menemukan bahwa perkawinan dengan suami kulit hitam dan istri
kulit putih memiliki rata-rata perceraian yang rendah dibandingkan dengan
rata-rata perceraian pada perkawinan kulit putih dan putih.
Dimana perbedaan sosial dan kultur masih tetap ada dan larangan pada
perkawinan antar ras masih kuat, mereka berusaha untuk tahan menghadapi
larangan dan berusaha kuat untuk menghadapi sangsi yang ada dari kelompok ras
mereka masing-masing
Pendidikan
Data dari survei nasional mengatakan bahwa pendidikan tidak selamanya
menjadi faktor yang penting dalam penyesuaian perkawinan. Glenn dan Weaver
(dalam Dyer, 1983) menemukan tidak ada hubungan yang signifikan antara lamanya
mengecap pendidikan dengan kebahagiaan perkawinan.
Penelitian terhadap perbedaan pendidikan pada pasangan dengan
penyesuaian perkawinan belum sepenuhnya jelas, karena ada pendapat yang
mengatakan bahwa pasangan dengan tingkat pendidikan yang sama akan lebih puas
dengan perkawinannya dan hasil penelitian yang lain juga mengatakan bahwa tidak
ada hubungan antara perbedaan tingkat pendidikan suami istri dengan
penyesuaianperkawinan (Terman; Burgess & Wallin, dalam Dyer, 1983).
Keluarga Pasangan
Salah satu hal yang harus dihadapioleh pasangan yang baru menikah adalah
bagaimana mengatasi hubungan selanjutnya dengan orang tua dan sanak saudara
setelah menikah. Beberapa penelitian dalam hal saudara istri atau suami
mengindikasikan bahwa masalah ini lebih mempengaruhi wanita daripada pria
(Duvall; Komorovsky, dalam Dyer, 1983). Ibu mertua dan kakak ipar lebih
cenderung sebagai masalah dalam ketidakcocokan dari pada bapak mertua dan abang
ipar. Inti dalam perselisihan biasanya menyangkut aktifitas dan peran wanita
dalam rumah tangga.
D.
PERCERAIAN
DAN PERNIKAHAN KEMBALI
Menikah Kembali setelah perceraian mungkin menjadi
keputusan yang membingungkan untuk diambil. Karena orang akan mencoba untuk
menghindari semua kesalahan yang terjadi dalam perkawinan sebelumnya dan mereka
tidak yakin mereka bisa memperbaiki masalah yang dialami. Mereka biasanya
kurang percaya dalam diri mereka untuk memimpin pernikahan yang berhasil karena
kegagalan lama menghantui mereka dan membuat mereka ragu-ragu untuk mengambil
keputusan.Sebagai manusia, kita memang mempunyai daya tarik atau daya ketertarikan
yang tinggi terhadap hal-hal yang baru. Jadi, semua hal yang telah kita miliki
dan nikmati untuk suatu periode tertentu akan kehilangan daya tariknya.
Penelitian menunjukan bahwa
penduduk lansia Amerika hampir akan berlipat ganda pada tahun 2050, menurut
laporan Pew Research. Seperti baby boomer memasuki masa pensiun, perhatian ada
siapa yang akan merawat mereka dengan bertambahnya usia mereka. Secara
tradisional, anak-anak telah menerima tanggung jawab pengasuhan, tapi
peran-peran pengasuhan menjadi kabur karena keluarga lebih banyak terpengaruh
oleh perceraian dan pernikahan kembali dibandingkan dekade sebelumnya. Lawrence
Ganong, seorang profesor dan co-kursi di Departemen MU Pembangunan Manusia dan
Studi Keluarga di Fakultas Ilmu Lingkungan Manusia (HES), mempelajari bagaimana
perceraian dan pernikahan kembali mempengaruhi keyakinan tentang siapa yang
harus merawat kerabat penuaan. Dia menemukan bahwa kualitas hubungan, riwayat
saling membantu, dan keputusan sumber daya mempengaruhi ketersediaan tentang
siapa yang peduli untuk orang tua dan orang tua tiri.
Menikah
Kembali setelah perceraian bisa menjadi kan pengalaman, tinggalkan masa lalu
dan berharap untuk masa depan yang lebih baik lagi dari pernikahan sebelumnya.
E.
ALTERNATIF
SELAIN PERNIKAHAN
Batasan
usia untuk menikah kini semakin bergeser, apalagi tingkat pendidikan dan
kesibukan meniti karir juga ikut berperan dalam memperpanjang batasan usia
seorang untuk menikah. Keputusan untuk melajang bukan lagi terpaksa, tetapi
merupakan sebuah pilihan. Itulah sebabnya, banyak pria dan perempuan yang
memilih untuk tetap hidup melajang.
Alasan
yang paling sering dikemukakan oleh seorang single adalah tidak ingin
kebebasannya dikekang. Apalagi jika mereka telah sekian lama menikmati
kebebasan bagaikan burung yang terbang bebas di angkasa. Jika hendak pergi,
tidak perlu meminta ijin dan menganggap pernikahan akan membelenggu kebebasan.
Belum lagi jika mendapatkan pasangan yang sangat posesif dan cemburu.
Banyak pria menempatkan pernikahan pada prioritas
kesekian, sedangkan karir lebih mendapat prioritas utama. Dengan hidup
melayang, mereka bisa lebih konsentrasi dan fokus pada pekerjaan, sehingga
promosi dan kenaikan jabatan lebih mudah diperoleh. Biasanya, pelajang lebih
bersedia untuk bekerja lembur dan tugas ke luar kota dalam jangka waktu yang
lama, dibandingkan karyawan yang telah menikah.
Melajang adalah sebuah sebuah pilihan dan bukan terpaksa, selama
pelajang menikmati hidupnya. Pelajang akan mengakhiri masa lajangnya dengan
senang hati jika telah menemukan seorang yang telah cocok di hati.sumber:
http://psikologi.or.id/mycontents/uploads/2010/07/hubungan-interpersonal.pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23408/3/Chapter%20II.pdf
No comments:
Post a Comment