CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »
Thanks for visit. Don't forget to come back :)
Don't walk behind me: I may not lead. Don't walk in front of me: I may not follow. Just walk beside me and be my friend.

Friday, June 12, 2015

Hubungan Interpersonal & Cinta dan Perkawinan

Nama  : Annisa Herliana
Kelas  : 2PA16
NPM   : 11513135
Tugas Ke 2


HUBUNGAN INTERPERSONAL

A.    MODEL-MODEL HUBUNGAN INTERPERSONAL
Hubungan Interpersonal adalah dimana ketika kita berkomunikasi, kita bukan sekedar menyampaikan isi pesan, tetapi juga menentukan kadar hubungan interpersonalnnya.
Hubungan interpersonal mempunyai 4 model, yaitu:
1.      Model pertukaran sosial (social exchange model)
Hubungan interpersonal yang diidentifikasikan dengan transaksi dagang, yaitu untuk memperoleh sesuatu dengan adanya harga yang harus dibayar.
2.      Model peranan (role model)
Dalam model ini, hubungan interpersonal digambarkan sebagau panggung sandiwara. Individu akan dipandang baik apabila dapat memainkan peran yang sesuai dengan harapan lawan hubungannya dan bila individu bertindak jauh dari harapan, maka hubungannya akan cenderung menjadi renggang.
3.      Model permainan (games people play model)
Digunakannya analisis transaksional dimana manusia diklasifikasikan dalam tiga karakter, yaitu kepribadian anak-anak, dewasa, dan orang tua.
4.      Model interaksional (interacsional model)
Model ini memandang hubungan interpersonal sebagai suatu sistem. Setiap sistem memiliki sifat struktural, integratif, dan medan. Model ini menggabungkan model pertukaran, peranan, dan permainan.
B.     MEMULAI HUBUNGAN
Tahap-tahap dalam hubungan interpersonal, yaitu:
1.      Pembentukan
Tahap ini disebut juga tahap perkenalan. Beberapa penelitian menemukan hal-hal menarik dari proses perkenalan, yaitu fase pertama, ‘fase kontak yang permulaan’ yaitu usaha dari kedua belah pihak yang berusaha menggali identitas. Jika masing-masing individu merrrasa memiliki kesamaan, mulailah proses mengungkapkan diri.
Menururt Charles R. Berger informasi ada tujuh tahap perkenalan, yaitu:
a.    Informasi demografis
b.    Sikap dan pendapat
c.    Rencana yang akan datang
d.   Kepribadian
e.    Perilaku pada masa lalu
f.     Orang lain
g.    Hobi dan minat
2.      Peneguhan Hubungan
Hubungan interpersonal tidak bersifat statis, tetapi selalu berubah. Untuk memelihara dan memperteguh hubungan interpersonal diperlukan tindakan-tindakan tertentu untuk mengembalikan keseimbangan. Ada empat faktor dalam memelihara keseimbangan, yaitu:
a.    Komunikasi efektif
b.    Ekspresi wajah
c.    Kepribadian
d.   Stereotyping
e.    Kesamaan karakter personal
f.     Daya tarik
g.    Ganjaran
h.    Kompetensi
C.    HUBUNGAN PERAN
Menurut R. Linton, peran adalah dynamic aspect of status, yaitu adalah seseorang menjalankan perannya sesuai hak dan kewajibannya.
Menurut Merton, peran adalah complement of role relationship which person by virtue of occupying a particular status, maksudnya adalah pelengkap hubungan peran yang dimiliki seseorang karena menduduki status sosial tertentu.
Ada dua jenis peran, yaitu:
1.      Role expectation, peran yang di harapkan masyarakat
2.      Role performance, peran yang diharapkan oleh pemegang peran

D.    INTIMASI DAN HUBUNGAN PRIBADI
Strong dan Devault (1989) sendiri mendesripsia intimasi sebagai perasaan hangat, dekat, dan teriat yang didapatan individu etia mencintai seseorang.

Atwater (1983) intimasi mengarah pada suatu hubungan yang bersifat informal, hubungan kehangatan antara dua orang yang diakibatkan oleh persatuan yang lama.

E.     INTIMASI DAN PERTUMBUHAN
Apapun alasan untuk berpacaran, untuk bertumbuh dalam keintiman, yang terutama adalah cinta. Keintiman tidak akan bertumbuh jika tidak ada cinta . Keintiman berarti proses menyatakan siapa kita sesungguhnya kepada orang lain. Keintiman adalah kebebasan menjadi diri sendiri. Keintiman berarti proses membuka topeng kita kepada pasangan kita. Bagaikan menguliti lapisan demi lapisan bawang, kita pun menunjukkan lapisan demi lapisan kehidupan kita secara utuh kepada pasangan kita.
Keinginan setiap pasangan adalah menjadi intim. Kita ingin diterima, dihargai, dihormati, dianggap berharga oleh pasangan kita. Kita menginginkan hubungan kita menjadi tempat ternyaman bagi kita ketika kita berbeban. Tempat dimana belas kasihan dan dukungan ada didalamnya. Namun, respon alami kita adalah penolakan untuk bisa terbuka terhadap pasangan kita. Hal ini dapat disebabkan karena :
(1)kita tidak mengenal dan tidak menerima siapa diri kita secara utuh.
(2)kita tidak menyadari bahwa hubungan pacaran adalah persiapan memasuki
pernikahan.
(3) kita tidak percaya pasangan kita sebagai orang yang dapat dipercaya untuk memegang rahasia.
(4) kita dibentuk menjadi orang yang berkepribadian tertutup.
(5) kita memulai pacaran bukan dengan cinta yang tulus .

CINTA DAN PERKAWINAN
Cinta adalah sebuah emosi dari kasih sayang yang kuat dan keterkaitan pribadi. Pendapat lainnya, cinta adalah sebuah aksi atau kegiatan aktif yang dilakukan manusia terhadap objek lain, yang berupa pengorbanan diri, empati, perhatian, memberikan kasih sayang, membantu, menuruti perkataan, dan mau melakukan apapun yang diinginkan objek tersebut.
Perkawinan adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan dan yang merupakan suatu pranata dalam budaya setempat dan meresmikan hubungan antar pribadi yang biasanya intim dan seksual.
A.    MEMILIH PASANGAN
Dalam memilih pasangan hidup, baik laki-laki maupun perempuan keduanya memiliki hak untuk memilih pasangan yang paling tepat untuk dirinya. Jika menginginkan pasangan hidup yang baik, maka kita juga harus baik.
Menurut Julianto Simanjuntak, memilih pasangan harus ada kesepadanan alias kecocokan.
B.     HUBUNGAN DALAM PERKAWINAN
Menurut Dawn J. Lipthrott, LCSW, ada lima tahap perkembangan dalam kehidupan perkawinan, yaitu:
Tahap pertama, Romantic Love: tahap saat anda dan pasangan merasakan gelora cinta yang mengebu-gebu. Pada tahap ini selalu melakukan kegiatan bersama-sama dalam situasi romantis dan penuh cinta. Contohnya, saat berbulan madu pernikahan.
Tahap kedua, Dissapointment or Distress: pada tahap ini suami istri kerap saling menyalahkan, mudah marah dan kecewa pada pasangan. Dan terkadang cara untuk mengalihkan perasaan stres yang memuncak adalah dengan menjalin hubungan dengan orang lain, lebih perhatian pada pekerjaan, anak, atau hal lain yang sesuai minat dan kebutuhan. Pada tahap ini bisa membawa pasangan ke situasi yang tak tertahankan dan banyak pasangan yang memilih pisah.
Tahap ketiga, Knowledge and Awareness: menurut Dawn, pasangan yang sampai pada tahap ini biasanya senang untuk meminta kiat-kiat kebahagiaan rumah tangga kepada pasangan lain yang lebih tua, mengikuti seminar, dan kosultasi perkawinan.
Tahap keempat, Transformation: pada tahap ini, pasangan akan mencoba berprilaku yang berkenan dihati pasangan masing-masing. Pasangan akan saling menunjukan penghargaan, empati, dan ketulusan untuk mengembangkan kehidupan perkawinan yang nyaman dan tentram.
Tahap kelima, Real Love: Menurut Dawn “Real Love sangatlah mungkin untuk pasangan yang memiliki keinginan untuk mewujudkannya. Real Love tidak bisa terjadi dengan sendirinya tanpa adanya usaha dari pasangan tersebut.”

C.    PENYESUAIAN DAN PERTUMBUHAN DALAM PERKAWINAN
Hirning dan Hirning (1956) mengatakan bahwa penyesuaian perkawinan itu lebihkompleks dibandingkan yang terlihat. Dua orang memasuki perkawinan harus menyesuaikan satu sama lain dengan tingkatan yang berbeda-beda. Untuk tingkat organismik mereka harus menyesuaikan diri dengan sensori, motor, emosional dan kapasitas intelektual dan kebutuhan. Untuk tingkat kepribadian, masing-masing mereka harus menyesuaikan diri dengan kebiasaan, keterampilan, sikap, ketertarikan, nilai-nilai, sifat, konsep ego, dan kepercayaan. Pasangan juga harus menyesuaikan dengan lingkungan mereka, termasuk rumah tangga yang baru, anak-anak, sanak keluarga, teman, dan pekerjaan.
Banyak faktor sosial dan demografis yang ditemukan memiliki hubungan dengan penyesuaian perkawinan (Dyer, 1983). Berikut ini beberapa hal yang mempengaruhi penyesuaian perkawinan :
Usia
Udry dan Schoen (dalam Dyer, 1983)mengatakan bahwa penyesuaian pekawinan rendah apabila pasangan menikah pada usia yang sangat muda, yaitu laki-laki di bawah 20 tahun dan wanita di bawah 18 tahun. Mereka dihadapkan pada tuntutan dan beban seputar perkawinan, dimana bisa menyebabkan rasa kecewa, berkecil hati, dan tidak bahagia. Penelitian juga mengatakan bahwa dalam ketidakmatangan, cenderung untuk melihat perkawinan dari segi romantismenya dan kurang persiapan untuk menerima tanggung jawab dari perkawinan tersebut.
Tapi dalam hal perbedaan usia, penelitian ditemukan tidak terlalu meyakinkan. Ada penelitian menemukan bahwa akan lebih menguntungkan bagi pasangan yang memiliki usia yang sama (Locke; Blode & Wolfe, dalam Dyer, 1983), namun pada penelitian lain juga ditemukan bahwa usia yang berbeda tidak memiliki pengaruh yang signifikan dalam penyesuaian pekawinan (Udry, Nelson & Nelson, dalam Dyer, 1983).
Agama
Hubungan antara agama dan penyesuaianperkawinan sudah diselidiki sepanjang tahun. Walaupun begitu, selalu ditemukan hasil yang berbeda-beda dan selalu tidak konsisten. Terman (dalam Dyer, 1983) menyimpulkan bahwa latar belakang agama dari pasangan bukan faktor yang berarti dalam kebahagiaan perkawinan. Pada penelitian pernikahan beda agama (Christensen & Barber; Glenn, dalam Dyer, 1983) ditemukan bahwa pernikahan beda agama antara Katolik, Yahudi, dan Protestan sedikit kurang bahagia dibandingkan pernikahan dengan agama yang sama di ketiga agama tersebut.
Ras
Sejauh ini tidak ada penelitian khusus penyesuaian perkawinan dimana perkawinan antar ras sebagai variabelnya. Walaupun ada opini terkenal yang mengatakan bahwa perkawinan antar ras penuh resiko, sebenarnya secara statistik sangat sedikit yang mendukung pandangan ini (Udry, dalam Dyer, 1983). Penelitian yang dilakukan Monahan (dalam Dyer, Universitas Sumatera Utara331983) pada perkawinan antar ras di Iowa, ditemukan bahwa perkawinan antar kulit hitam dan putih lebih stabil daripada perkawinan kulit hitam dan hitam; dia juga menemukan bahwa perkawinan dengan suami kulit hitam dan istri kulit putih memiliki rata-rata perceraian yang rendah dibandingkan dengan rata-rata perceraian pada perkawinan kulit putih dan putih.
Dimana perbedaan sosial dan kultur masih tetap ada dan larangan pada perkawinan antar ras masih kuat, mereka berusaha untuk tahan menghadapi larangan dan berusaha kuat untuk menghadapi sangsi yang ada dari kelompok ras mereka masing-masing
Pendidikan
Data dari survei nasional mengatakan bahwa pendidikan tidak selamanya menjadi faktor yang penting dalam penyesuaian perkawinan. Glenn dan Weaver (dalam Dyer, 1983) menemukan tidak ada hubungan yang signifikan antara lamanya mengecap pendidikan dengan kebahagiaan perkawinan.
Penelitian terhadap perbedaan pendidikan pada pasangan dengan penyesuaian perkawinan belum sepenuhnya jelas, karena ada pendapat yang mengatakan bahwa pasangan dengan tingkat pendidikan yang sama akan lebih puas dengan perkawinannya dan hasil penelitian yang lain juga mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara perbedaan tingkat pendidikan suami istri dengan penyesuaianperkawinan (Terman; Burgess & Wallin, dalam Dyer, 1983).
Keluarga Pasangan
Salah satu hal yang harus dihadapioleh pasangan yang baru menikah adalah bagaimana mengatasi hubungan selanjutnya dengan orang tua dan sanak saudara setelah menikah. Beberapa penelitian dalam hal saudara istri atau suami mengindikasikan bahwa masalah ini lebih mempengaruhi wanita daripada pria (Duvall; Komorovsky, dalam Dyer, 1983). Ibu mertua dan kakak ipar lebih cenderung sebagai masalah dalam ketidakcocokan dari pada bapak mertua dan abang ipar. Inti dalam perselisihan biasanya menyangkut aktifitas dan peran wanita dalam rumah tangga.

D.    PERCERAIAN DAN PERNIKAHAN KEMBALI
Menikah Kembali setelah perceraian mungkin menjadi keputusan yang membingungkan untuk diambil. Karena orang akan mencoba untuk menghindari semua kesalahan yang terjadi dalam perkawinan sebelumnya dan mereka tidak yakin mereka bisa memperbaiki masalah yang dialami. Mereka biasanya kurang percaya dalam diri mereka untuk memimpin pernikahan yang berhasil karena kegagalan lama menghantui mereka dan membuat mereka ragu-ragu untuk mengambil keputusan.Sebagai manusia, kita memang mempunyai daya tarik atau daya ketertarikan yang tinggi terhadap hal-hal yang baru. Jadi, semua hal yang telah kita miliki dan nikmati untuk suatu periode tertentu akan kehilangan daya tariknya.
Penelitian menunjukan bahwa penduduk lansia Amerika hampir akan berlipat ganda pada tahun 2050, menurut laporan Pew Research. Seperti baby boomer memasuki masa pensiun, perhatian ada siapa yang akan merawat mereka dengan bertambahnya usia mereka. Secara tradisional, anak-anak telah menerima tanggung jawab pengasuhan, tapi peran-peran pengasuhan menjadi kabur karena keluarga lebih banyak terpengaruh oleh perceraian dan pernikahan kembali dibandingkan dekade sebelumnya. Lawrence Ganong, seorang profesor dan co-kursi di Departemen MU Pembangunan Manusia dan Studi Keluarga di Fakultas Ilmu Lingkungan Manusia (HES), mempelajari bagaimana perceraian dan pernikahan kembali mempengaruhi keyakinan tentang siapa yang harus merawat kerabat penuaan. Dia menemukan bahwa kualitas hubungan, riwayat saling membantu, dan keputusan sumber daya mempengaruhi ketersediaan tentang siapa yang peduli untuk orang tua dan orang tua tiri.
Menikah Kembali setelah perceraian bisa menjadi kan pengalaman, tinggalkan masa lalu dan berharap untuk masa depan yang lebih baik lagi dari pernikahan sebelumnya.

E.     ALTERNATIF SELAIN PERNIKAHAN
Batasan usia untuk menikah kini semakin bergeser, apalagi tingkat pendidikan dan kesibukan meniti karir juga ikut berperan dalam memperpanjang batasan usia seorang untuk menikah. Keputusan untuk melajang bukan lagi terpaksa, tetapi merupakan sebuah pilihan. Itulah sebabnya, banyak pria dan perempuan yang memilih untuk tetap hidup melajang.
Alasan yang paling sering dikemukakan oleh seorang single adalah tidak ingin kebebasannya dikekang. Apalagi jika mereka telah sekian lama menikmati kebebasan bagaikan burung yang terbang bebas di angkasa. Jika hendak pergi, tidak perlu meminta ijin dan menganggap pernikahan akan membelenggu kebebasan. Belum lagi jika mendapatkan pasangan yang sangat posesif dan cemburu.
Banyak pria menempatkan pernikahan pada prioritas kesekian, sedangkan karir lebih mendapat prioritas utama. Dengan hidup melayang, mereka bisa lebih konsentrasi dan fokus pada pekerjaan, sehingga promosi dan kenaikan jabatan lebih mudah diperoleh. Biasanya, pelajang lebih bersedia untuk bekerja lembur dan tugas ke luar kota dalam jangka waktu yang lama, dibandingkan karyawan yang telah menikah.
Melajang adalah sebuah sebuah pilihan dan bukan terpaksa, selama pelajang menikmati hidupnya. Pelajang akan mengakhiri masa lajangnya dengan senang hati jika telah menemukan seorang yang telah cocok di hati.







sumber:
http://psikologi.or.id/mycontents/uploads/2010/07/hubungan-interpersonal.pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23408/3/Chapter%20II.pdf

No comments:

Post a Comment